"Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengikuti seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”

(H.R
Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi)

Kamis, 02 September 2010

Menyimak Argumen Ali as “Taklukan” Kaisar Romawi

Petunjuk bagi Mukminin Agar Selamat Berpulang

Menyimak Argumen Ali as “Taklukan” Kaisar Romawi

Oleh : Abdul Choliq Wijaya


Diriwayatkan dari himpunan buku bertajuk saluni qobla antafqiduni, susunan Muhammad Ridha Al-Hakimi (Muassasah Al-A’lami, Beirut, 1399 H) bahwa sorang Kaisar Romawi begitu antusias untuk mengetahui tentang kedalaman ilmu Islam. Di sisi zaman dan kondisi yang berlainan, para kiai (ulama) unggulan kita di Indonesia pun kini sibuk menerima kunjungan para calon presiden yang memohon restu. Ada baiknya kemungkinan argumentasi Ali as menyibak “rasa ingin terpilih” para kandidat Presiden Indonesia 2009 ini.

Sang kaisar lalu menulis surat kepada seorang khalifah di jazirah Arabia, seperti disebutkan oleh Ibnu Musayyib dari Kaisra Bani al-Asfar kepada kalifah pemerintahan Islam di jazirah Arabia. Aku ingin bertanya kepada anda mengenai sejumlah pertanyaan pokok yang mengusikku selama ini. Maka, beritahukanlah kepadaku mengenai hal-hal itu, yakni:
1. Apa sesuatu yang tidak Allah ketahui? Apa sesuatu yang tidak Allah miliki? Apa sesuatu yang semuanya mulut? Apa sesuatu yang semuanya kaki? Apa sesuatu yang semuanya mata? Apapula sesuatu yang semuanya sayap?
2. Beritahukan kepadaku tentang seseorang yang tidak memiliki kerabat, mengenai empat mahluk hidup yang tidak pernah berada di dalam rahim, juga tentang sesuatu yang bernafas tetapi tidak bernyawa. Apa pula yang diteriakkan ”terompet” Naqus di hari kiamat, tentang sesuatu yang hanya sekali terbang mengenai pohon yang menaungi setiap pengendara di saat bepergian selam seratus tahun, yakni suatu perjalanan yang tidak pernah ditempuh dunia.?
3. Ya khalifah, jelaskan pula tentang tempat yang tidak pernah disinari cahaya matahari kecuali sehari saja. Terangkan pula tentang sebuah pohon yang tumbuh tanpa air, mengenai sesuatu yang menyerupai penghuni surga – jika ia makan dan minum, ia idak membuang hajat besar atau kecil?
4. Jelaskan pula ya khalifah Allah SWT, jika engkau benar utusan-Nya, tentang sesuatu yang mirip dengan meja-meja di surga dan di atasnya terdapat hidangan-hidangan di mana di setiap hidangan memiliki warna-warna yang tidak bercampur. Coba pula terangkan kepadaku mengenai sesuatu yang keluar dari buah apel dan mirip dengan bidadari surgawi yang konon tiada pernah beruba. Jelaskan pula mengenai kenikmatan di dunia sementara ini yang bisa dirasakan dua orang, namun di akhirat hanya untuk satu orang. Jangan lupa ya khalifah, terangkan kepadaku mengenai kunci-kunci surga itu!

Saat khalifah menerima surat Kaisar Romawi, beliau memohon agar sayydini Ali bin Abi Thalib as untuk menuliskan jawabannya.

Dengan nama Allah SWT. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amma ba’du. Aku (Ali bin Abi Thalib as) telah membaca surat Anda wahai Raja Eomawi dan aku kini membalasnya dengan bantuan dan bimbingan Allah SWT, serta berkat Nya dan berkah yang selalu menyertaiku dari Nabi Muhammad SAW.

Adapun sesuatu yang Allah SWT tidak ketahui adalah keyakinan Anda, wahai raja Romawi bahwa Dia punya anak, istri dan sekutu. Ketahuilah Raja, Allah SWT sudah menegaskan dalam Al Quran bahwa Allah SWT tidak punya anak dan Tiada Tuhan lain di samping Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. (Q. S. Al-Ikhlas : 3)

Sesuatu yang tidak dimiliki Allah adalah kezaliman. “Dan tidaklah Tuhanmu itu berbuat kezaliman terhadap hamba-hambaNya (3: 182). Sesuatu yang semuanya mulut adalah api yang melahap segala sesuatu yang dilemparkan kepadanya. Adapun yang semuanya kaki adalah air. Yang semuanya mata adalah matahari. Yang semuanya sayap adalah angin. Yang tidak memiliki kerabat adalah Nabi Adam as, domba Nabi Ibrahim as, dan Siti Hawa.

Sementara itu, yang bernafas tanpa nyawa adalah subuh. Allah SWT berfirman, “Demi shubuh di saat bernafas” (81 : 18)

Teriakan “terompet” Naqus adalah thoqqon,thoqqon- thoqqon, thoqqon-thoqqon, mahlan-mahlan, shidqon-shidqon. Sesungguhnyalah dunia telah memperdaya dan merayu kita. Dunia berlaku dari abad ke abad. Tidaklah suatu haripun berlalu dari abad ke abad. Tidaklah suatu haripun berlalu melainkan kekuatan fisik kita semakin melemah. Sesungguhnyalah saat-saat kematian telah memberitahu kepada kita, kita akan ”pergi dan bermukim”. Kembali ke kebaqaan, yakni jika berkeinginan pulang abadi dengan selamat, aku adalah satu-satunya ”petugas penjaga” gerbang kembali kepada Sang Pencipta Allah SWT.

Perlu engkau ketahui Raja Romawi, setelah Rasulullah saw, akulah (Ali bin Abi Thalib) pemegang ilmu kembali dengan selamat (Ilmu Syathariyah) kepada-Nya dan sesuadhku adalah para penggantiku (menurut silsilah Imamah Wasilah/Wasithah) yang terus gilir berganti digengang oleh Wasi yang berhak dan sah seizin-Nya di setiap zaman hingga Allah SWT memproklamasikan kiamat.

Para wasithah itulah yang sering disebut-sebut oleh Rasul SAW, bahwa mereka bukanlah termasuk Rasul atau Nabi, namun di sisi Allah SWT merekalah yang di hari akhir nanti cahayanya begitu mencorong gilang gemintang di antara umat Ku yang terpilih (Hadits Sahih Ghadir Qum).

Hai kaisar, yang terbang hanya sekali adalah Gunung Thuri Sina. Di saat Bani Israil bermaksiat, Allah SWT mengambil sebidang tanah dari Thuri Sina dan membuat untuk mereka berdua sayap dari cahaya lalu menjatuhkkannya di atas mereka. Padahal, perjalanan dari Thuri Sina ke Baitul Maqdis membutuhkan beberap hari. Sehubungan dengan hal itu, Allah SWT berfirman, ”Dan ingatlah ketika kami angkat gunung dai atas mereka seakan-akan naungan awan” (Q.S. Al-A’raf : 171).

Tempat yang hanya sekali disinari matahari adalah dasar laut yang terbelah bagi kelapangan jalan Nabi Musa as. Air terbelah dan berdiri menjulang laksana gunung dan dasarnya menjadi kering karena disinari matahari, kemudian air itu kembali seperti semula, tutur Ali as dalam surat balasannya.

Pohon yang seseorang berjalan di bawahnya selama seratus tahun adalah Pohon Tuba, yakni Sidratul Muntaha di ”langit ke tujuhNya”. Padanya berakhir amal perbuatan keturunan Nabi Adam as. Ia termasuk dari pohon-pohon surgawi, tidak ada di surga suatu istana atau rumah, melainkan ada padanya suatu ranting-ranting pohon tersebut. Yang serupa dengan itu adalah matahari, sumbernya satu, namun cahayanya berada di setiap tempat, sebagimana yang dikehendaki Allah SWT.

Mengenai pohon yang tumbuh tanpa air, adalah pohon yang merupakan mujijat beliau (Rasulullah SAW). Allah SWT berfirman, ”Dari kami tumbuhkan untuknya (Muhammad) pohon dari yaqthi (sejenis buah labu). (Q.S. As-Shaffat : 146)

Adapun yang menyerupai surgawi di dunia fana ini, ya Kaisar Roamwi, menurut ilmu kami kaum mukminin yang berada dalam Hidayah-Nya adalah janin dalam perut ibunya. Dia makan dan minum melalui pusar ibundanya, tetapi dia tidak buang air kecil ataupun buang air besar.

Yang menyerupai warna-warna dalam satu hidangan di surga adalah telur yang di dalamnya terdapat dua warna, yaitu putih dan kuning, namun keduanya tidaklah bercampur aduk. Yang menyerupai bidadari surgawi adalah ulat yang keluar dari buah apel dan tidak berubah.

Berkaitan dengan maksud akan sesuatu yang di dunia dimiliki dua orang, sedang di akherat cuma berhak dimiliki seorang saja adalah kurma. Di dunia fana ini ia dimiliki orang mukmin seperti aku dan orang fasik atau kafir sebagaimana adanya engkau, ya Raja Romawi. Namun di akherat nanti, sebagaimana ketentuan Allah SWT, kurma hanya diberkahkan kepada orang mukminin sebab hanya kaum mukminin yang boleh masuk surga-Nya, sedangkan kalian tidak diperkenankan.

Tentang pencarian orang Romawi akan kunci surga, akan kutunjukkan, yakni, ”Tiada Tuhan selain Allah SWT, dan Muhammad saw adalah Rasulullah”.

Berkenaan dengan isi surat balasan ayidina Ali bin Abi Thalib as ini dikisahkan oleh Ibnu Al Musayyib, seperti dinukil oleh Muhammad Ridha Al Hakimi, sang Kaisar Romawi bereaksi dengan berkata, ”Penjelasan ini tidaklah akan keluar keculai dari rumah kenabian yang disucikan-Nya”

Kemudian Kaisar Romawi menanyakan siapa gerangan orang yang menuliskan surat balasan untuknya, lalu diperoleh keterangan dari stafnya, bahwa surat balsan itu ditulis oleh putra paman Rasulullah saw. Kaisar Romawi pun bergegas menulis surat balasannya yang langsung ditujukan kepada sayidina Ali bin Abi Thalib as.

”Salam atasmu”. Aku telah membaca isi jawabanmu dan aku yakin, bahwa anda berasal dari rumah kenabian, sumber kerasulan dan anda pun adalah seorang pemberani serta berilmu. Aku harap anda dapat menjelaskan pendapat anda tentang yang disebutkan Allah dalam kitab kalian, yang firman-Nya mengatakan, ”Dan mereka bertanya tenatgn roh. Katakanlah bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku” (Q.S. Al _Isra : 85)

Kemudian Sayidina Ali menjawab tatentang kepenasaran Kaisar Romawi. ”Dengan permohonan izin Tuhanku Allah SWT, bahwa roh adalah sesuatu yang maha halus dan pancaran Cahaya Yang Mulia, ciptaan pencipta-Nya dan kekuasaan pembuat Nya yang tidak ada lagi sesuatupun Zat Mulia dan Agung serta Mahakuasa selain dia. Roh itu dikeluarkan dari khazanah-khazanah kerajaan-Nya dan ditempatkan di kerajaanNya pula. Bagi Nya roh adalah sebab atau asal-usulmu dan bagimu roh adalah titipan-Nya. Jika anda mengambil milikmu dari Allah, maka Ia akan mengambil milikNya darimu. Wassalam.”

Demikian kecerdasan Ali as dengan segala hidayah yang dilimpahkan-Nya sehingga seorang ilmuan kristiani George Jordac menyimpulkan bahwa Alilah satu-satunya dari sahabat Rasul saw yang dari sejak dini menyelami lautan kebijakan Islam di bawah bimbingan langsung sang tutor Ilahi, Muhammad SAW. Tak ayal lagi, kearifan, kecerdasan, kesalehan, dan keluasan pengetahuannya merupakan refleksi sang penutup zaman, Rasulullah saw.

”Ali bin Abi Thalib adalah sumber pengetahuan yang paling utama. Tak satupun cabang ilmu pengetahuan di Negeri Arab yang tidak diketemukan dan dipelopori Ali as, ”tutur Geoge Jordac. Tak pelak lagi, Kaisar Romawi pun dibuatnya skak mat. Bagaimana pula dengan hasrat yang dikandung oleh kandidat Presiden Indonesia 2009? Siap diuji oleh metodologi Ali as?.


Ditulis ulang oleh Elan Suherlan

Kamis, 29 April 2010

IMAM ALI SETELAH WAFAT RASULULLAH SAW



Oleh : DR. Khozin Affandi


Setelah Rasulullah saw  wafat, Abu Bakar dibai’at menduduki jabatan khlaifah setelah melalui pertentangan antara kaum Anshar dengan kaum Muhajirin. Ditulis oleh Al-Mas’udi dalam kitabnya “Murujud-Dhahab” juz 2,halaman 307,bahwa Imam  Ali dan Bani Hasyim tidak turut membai’at Abu Bakr. Mereka baru memberikan bai’at kepada Abu Bakr setelah Siti Fatimah wafat (enam bulan setelah Rasulullah saw wafat). Sebelum wafat, Siti Fatimah berpesan kepada suaminya (Imam Ali) agar jenazahnya dikubur secara sembunyi-sembunyi dan tidak diketahui siapapun. Memenuhi pesan istri sekaligus putri kesayangan Rasulullah Muhammad saw,Imam Ali menguburkan jenazah istrinya di malam hari dan tidak diketahui siapapun. Sampai sekarang sejarah hanya mengatakan bahwa makam Siti Fatimah majhul (tidak diketahui).

Apapun yang terjadi pada waktu itu, yang jelas setelah Abu Bakr menduduki tampuk kekhilafahan Imam Ali bin Abu Thalib tetap berupaya memperjuangkan hak dan kebenaran dirinya untuk menjadi pengganti Rasululah saw  sesuai wasiat beliau tentang Maula. Namun kondisi ini malah berubah menjadi polemik. Karena itu  untuk menghindari kondisi menjadi keruh dan menjaga keberadaan umat Islam, Imam Ali mengambil sikapnya yang khas.

Setelah semua kejadian tersebut, Imam Ali bin Abi Thalib menyendiri dan melanjutkan kehidupan pribadinya. Disamping masalah bai’at, penguasa saat itu menghendaki Ali untuk tidak menyuarakan hak dan kebenarannya  sebagai pengganti Nabi saw. Pihak penguasa juga menghendaki agar Imam Ali ikut serta menghunus pedang berperang untuk memperkuat Kekuasaan penguasa melawan musuh dan orang-orang yang murtad. Untuk per mintaan ini Imam Ali menolak. Atas sikap seperti ini, penguasa memandang wajar jika harus mengabaikan dan merendahkan beliau di mata umum. Dan politik ini juga yang menambah keterasingan beliau di tengah masyarakatnya. Di sisi lain, kaum Quraisy pun bersikap tidak peduli terhadap nasib Imam Ali.

Dalam suatu doanya, Imam Ali mengadukan sikap kaum qurays,”Ya Allah, aku meminta pertolonganmu dari orang-orang Quraiys dan siapapun yang mendukung mereka. Sesungguhnya mereka telah memutus tali hubungan kekerabatan denganku, meremehkan posisiku dan bersepakat memerangiku karena satu hal yang merupakan milikku.”

Jadi disamping menghadapi siasat pemegang kekuasaan saat itu, beliau juga harus berhadapan dengan sukunya sendiri yakni suku quraiys yang juga tidak bersahabat dengan beliau.
“Ya Allah, aku menangis dan tak seorangpun yang menolong dan membelaku kecuali orang-orang khususku, yang mana aku tidak sampai hati membawa mereka sampai titik kematian …”.

Doa pengaduan di atas sudah cukup untuk membaca politik kekuasaan para khalifah saat itu dan sikap kaum quraiys kepada beliau.


Khalifah Umar bin Khattab menjelang akhir kepemimpinannya mengangkat dewan syura terdiri dari enam orang untuk memilih khalifah setelah dia. Dia juga berpesan manakal terjadi perselisihan maka hendaklah berpegang pada kelompok yang di dalamnya ada Abdur Rahman bin Auf. Dewan Syura adalah :
  1. Ali bin Abi Thalib (dari Bani Hasyim)
  2. Usman bin Affan (Bani Umayah)
  3. Abdurrahman bin Auf (Bani Zuhrah)
  4. Sa’ad bin Abi Waqash (Bani Zuhrah)
  5. Thalhah bin Ubaidillah (Bani Tamim)
  6. Zubair bin Awwam, suami Asma’ binti Abu Bakar saudari Siti Aisyah binti Abu Bakr. Jadi ada hubungan kekerabatan antara Zubair dan Siti Aisyah. Karena itu ketika Zubair mengadakan pemberontakan kepada khalifah Ali bin Abi Thalib yang baru saja dibai’at sebagai Khalifah, Siti Aisyah membantu Zubair bin Awwam.

Dalam Syarh Nahjul Balaghah Imam Ali pernah mengingatkan dewan syura untuk lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan yang mendalam dalam mengambil keputusan memilih khalifah agar tidak menyesal di kemudian hari. Tetapi Dewan lebih memilih perkataan Umar bahwa “Ali ra.adalah seorang yang suka bercanda, sebuah karakter yang sangat menyakitkan Ali bin Abi Thalib karena perkataan itu diungkapkan dengan nuansa negatif. Kata-kata Umar inilah yang menjadi alasan bagi Mu’awiyah dan Amr bin ‘Ash di kemudian hari dengan mengatakan “Ali suka bermain-main” dalam pengertian sebagai orang yang tidak bersungguh-sungguh. Dengan berbagai upaya,Imam Ali melakukan pembelaan diri meski itu tidak membantu apa-apa.