"Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengikuti seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”

(H.R
Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi)

Jumat, 12 Februari 2010

FENOMENA PERAHU NABI NUH DAN CARA MENAIKINYA

Oleh : Roni M. Jamaludin

Menaiki perahu Nabi Nuh ..? Ah, mustahil terjadi. Nabi Nuh kan hidupnya sudah ratusan tahun yang lalu, mana mungkin kita bisa menaiki perahunya!! Apalagi wujud perahunya sekarang tidak ada (belum ditemukan). Terus perahunya kayak apa, dimana letaknya, bagaimana bisa menaikinya, bukankah pula seharusnya sudah hancur ditelan jaman? Dan seterusnya-dan seterusnya.


Begitulah kiranya ketika secara sekilas membaca judul di atas. Dan, secara spontan pula akan berkesimpulan bahwa hal tersebut “mustahil” terjadi. Apalagi pandangan logika juga sangat tidak mendukung. Bahkan dapat dikatakan suatu hal yang sangat imposible.


Tetapi, ketika membaca sabda Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, al-Hakim dan Adz Dzahabi, segala ketidakmungkinan di atas akan terjawab dengan sendirinya. Hadits tersebut adalah :


“Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu karena kamu adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian darimu. Dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, rohmu adalah rohku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu.Sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu.
Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengiktu seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”






Hadits di atas dengan jelas dapat disimak bahwa Nabi SAW telah memproklamasikan diri “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya”. Hal ini kalau dicermati akan didapat dua permasalahan. Yaitu pernyataan diri Nabi SAW sebagai kota Ilmu dan penegasan pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai pintu memasuki kotanya.


Pendeklarasian sebagai kota ilmu sekaligus penunjukkan pintu memasukinya, secara logika tentu akan mengundang berbagai pertanyaan. Misalnya sebagai kotanya ilmu, ilmu apakah atau ilmu yang manakah gerangan? Apakah ilmu fisika, astronomi, aljabar, kedokteran atau ilmu-ilmu yang lain?. Demikian pula tentang pengangkatan Ali sebagai pintunya. Siapakah beliau sebenarnya, dari kalangan bangsa manakah, factor pakah yang melatarbelakangi hingga beliau begitu sangat istimewa di hadapan Nabi SAW?


Sementara itu bila dilihat dari latar belakang pendidikan, serta kehidupan beliau (Nabi SAW) sejak kecil yang selalu dalam keadaan lara-tapa (sengsara)—hingga saking susahnya tidak pernah memikirkan bangku sekolah—kiranya sangat mustahil beliau menguasai ilmu-ilmu tersebut. Apalagi hingga menamakan diri sebagai kota ilmu. Lantas ilmu yang manakah gerangan?


Disinilah yang perlu dikaji, dianalisis, dan ditafakuri secara fundamental. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi SAW memproklamasikan diri sebagai kota ilmu setelah Beliau secara resmi telah diangkat sebagai Utusan Tuhan (Rasulullah). Yaitu sebagai Wakil Tuhan dalam rangka membimbing umta manusia memenuhi kehendakNya-berupa segenap peraturan (system keyakinan), petunjuk maupun larangan yang harus dilakukan manusia agar bisa bertemu kembali dengan Diri-Nya-yang kemudian disebut ajaran Islam. Oleh karenanya, ilmunya pun adalah ilmu yang memperkenalkan jati diri hamba dengan keberadaan Jati Diri Dzat Tuhan. Persis sebagaimana ketika telah mengenal dengan yakin Wujud-Nya di alam “arwah”, sehingga waktu itu berani menerima persaksian yang diberikan Tuhan . Kemudian setelah mengenal kembali Jati Diri Tuhanseperti yang disaksikan di alam arwah tersebut, selanjutnya dijadikan “total target” yang hendak dituju dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sehingga ketika mati yang pasti harus dijumpai, dapat/bisa selamat pulang kembali di sisi Dzat yang Berkuasa, ilaa Rabbiha nadhiroh.


Persaksian yang dimaksud adalah seperti yang difirmankan dalam Q.S. Al-A’raf 172 :”…alastu bi Rabbikum qaalu balaa syahidna..”. Bukankah AKU ini Tuhanmu, begitulah kalimat persaksian yang diberikan Tuhan. Kalimat tersebut menggunakan kata AKU, ini bahwa Dzat Tuhan ngejawantah (menampakkan diri) di depan hamba. Kemudian semua manusia yang waktu itu masih berupa intinya (sirr) menjawab : benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. Semua manusia tanpa terkecuali, apakah yang akan dijadikan utusan-Nya, hamba biasa ataupun yang akan menjadi pembangkang terhadap perintah-Nya semua bersaksi. Semuanya mengetahui persis, mengetahui dengan pasti atas keberadaan Dzat Tuhan. Sehingga karena haqqul yakinya melihat/menyaksikan kemudian mau bersaksi, menyatakan kebenaran Wujud Dzat Tuhan.


Kembali pada kota ilmu, dengan demikian, yang dimaksud kota ilmu adalah ilmu yang menunjukkan/mengenalkan kembali Jati Diri Dzat Tuhan sebagaimana halnya ketika masih di alam arwah telah seyakinnya mengenal. Logikanya, memang sewajarnya dan seharusnya manusia itu asalnya dari Tuhan, kembali kepada Tuhan. Tuhan dalam arti Dzat bukan nama/sebutan/istilah. Ini yang harus dikenal dengan yakin dan pasti. Tidak bisa hanya melalui metode kira-kira, angan-angan, apalagi hanya menduga-duga dari tempat yang jauh. Tempat mengenalnya adalah hati nurani, roh dan rasa, bukannya otak/akal pikiran. Cara mengenalnya/mengetahuinya adalah dengan “digurukan” kepada ahlinya. Sebagaimana halnya Nabi SAW yang juga berguru kepada utusan-Nya (Jibril). Sangat pas/cocok dengan petunjukknya, bila perkara tidak ditanyakan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya.


Di sisi lain, mengenali dengan yakin Dzat-Nya, merupakan implementasi dari perintah-Nya “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikan Shalat untuk mengingat Aku” (Q.S Thaha:14). Perintah ini menegaskan bahwa “sebenarnya” yang hak disembah adalah Aku (maka sembahlah Aku). Aku yang mempunyai nama Allah. Aku yang memperkenalkan diri dengan 99 asma lainnya (Asmaul Husna). Dan Aku yang disebut-sebut oleh manusia (hamba-nya) dengan beratus-ratus nama lain (missal : God, Tuhan, Gusti, Yahweh, Pangeran, Sang Hyang Widi Wasya dan lain sebagainya). Aku inilah yang dikenali terlebih dahulu, kemudian disembahnya secara khusyuk dan didzikiri (diingat-ingat) baik ketika berdiri, duduk ataupun berbaring.




berlanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar