"Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengikuti seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”

(H.R
Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi)

Kamis, 01 April 2010

Lanjutan Syahadat

Akan tetapi potensi positif manusia yang berupa fitrah murni kemanusiaannya terus ikut menyertainya dalam kehidupan di dunia ini. Dan kenyataan ini bisa dilihat dalam rentang perjalanan sejarah yang panjang dan dalam perkembangan peradabannya yang mengatakan bahwa manusia tidak pernah berhenti membahas atau mencari Tuhan sebagimana dikerjakan oleh beberapa filosof, atau membuat konsep dan penjelasan-penjelasan tentang Tuhan sebagaimana dikerjakan para pemimpin agama, atau meyakini bahwa ada kekuatan gaib di balik alam ini sebagimana pada kebudayaan kuno.


Di samping faktor intern-fitrah, faktor-faktor eksternal turut mendorong manusia mencari kekuatan ghaib itu. Dalam hidup di atas bumi ini, manusia dihadakan dengan lingkunan alami yang seringkali tidak ramah terhadap nasib mereka seperti banjir, gempa bumi, halilintar, wabah penyakit, serangan hama, gunung meletus, dan lain-lain gangguan alam yang setiap saat dan dengan tiba-tiba mengancurkan harapan mereka. Pada sisi internal, mereka memiliki sebuah rencana, cita-cita, ambisi, kepentingan, nafsu keinginan bahkan sifat-sifat tamak, serakah, zhalim, dan sejumlah sifat-sifat lainnya yang bisa berdampak merugikan orang lain atau pihak-pihak lain.


Berkembangnya faktor internal-fitrah ini didasarkan atas fakta potensial, atau natural faculties (kemampuan alami), meminjam istilah John Locke yang menolak teori innatea idea platonis, yang dimiliki manusia. Kemampuan alami yang dimiliki manusia itu adalah panca indera dan akal rasio. Kemampuan inilah yang dipakai dan dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi cita-cita, ambisi, kepentingan dan kebutuhan sehari-hari, namun ia juga bisa diasah dan dipertajam melalui pendidikan kehalian dan keterampilan untuk melakukan observasi ilmiah, merumuskan hipotesis, mengujiknya lewat eksperimen, guna melahirkan atau membuktikan kebenaran teori, atau untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain yang terpendam di balik alam. Hasilnya adalah peradaban modern sebagaimana kita saksikan ini lengkap dengan segala produk dan temuan teknologi di sektor kehidupan mulai dari bumbu masak sampai ruang angkasa.


Keadaan inilah yang dikonsepsikan oleh Auguste Comte sebagai tahap positive atau tahap ilmiah di mana simpulan empirik dan kalkulasi rasio memainkan peranan penting sekaligus menyingkirkan cara berfikir tahap teologis dan tahap metafisik dari percaturan peradaban karena tidak diperlukan lagi. Boleh jadi Comte tidak pernah memperhitungkan konsekuensi praktis yang tidak jarang menyimpang dari perhitungan dan rancangan manusia. Peluncuran pesawat ruang angkasa yang sudah dirancang dengan teknologi tinggi tiba-tiba meledak dan hancur berkeping-keping. Tiba-tiba terjadi kebocoran di pabrik nuklir atau bahkan meledak dan meluluh lantakkan bangunan dan memakan korban jiwa. Tiba-tiba terjadi angin puting beliung yang melumatkan bangunan yang super canggih dan tidak mampu dikendalikan oleh teknologi manusia. Tiba-tiba terjadi gempa bumi atau gunung meletus dengan kekuatan yang dahsyat memakan habis bangunan dan menelan manusia. Atau bahkan tangan-tangan manusia itu sendiri yang membuat kerusakan secara langsung. Tiba-tiba terjadi kontak senjata, terjadi peperangan, terjadi permusuhan manusia oleh manusia, terjadi amuk masa, terjadi pembunuhan secara masal atas nama doktrin kiamat dalam suatu sekte tertentu dan masih banyak kasus-kasus lain yang tak mungkin diturunkan di sini semuanya. Memang harus diakui bahwa manusia dengan kemampuan akal, teori dan teknologi yang dikuasainya bias membuat rancangan ke depan, akan tetapi tetap saja berlaku premis dasar yang menyatakan bahwa masa depan adalah ibarat sebuah gudang yang menyimpan seribu ketidakpastian. Dalam kemasan agama, ungkapan bijak itu menyatakan manusia berusaha, namun Tuhanlah juga yang menentukan. Artinya di luar kemampuan yang dimiliki manusia ada supra kekuatan yang lebih. Supra kekuatan ini dikemas manusia dalam berbagai konsep semisal kekuatan ghaib, dewa, Tuhan, Supreme Being, Dzat yang absolute, Infinite dan seterusnya.


Bangsa mesir kuno punya keyakinan terhadap dewa Osis, Osiris, dewa Ra dan mereka melakukan ritual-ritual pemujaan terhadap para dewa. Bangsa Akadia dengan kota Babilonianya yang terkenal memuja kebesaran para dewa. Bangsa Minoa yang tinggal di kepulauan Aegea dengan pusat pemerintahannya di pulau Kreta meyakini dewa Cronos sebagai kepala para dewa, dan setelah mereka dikalahkan oleh sekelompok orang yang ditenggarai berbahasa Yunani, maka mitos dewa Cronos dilenyapkan dan diganti oleh Dewa Zeus sebagai pemimpin para dewa. Menurut mitos yang dibuat oleh bangsa Yunani kuno, Dewa Cronos ini dikalahkan oleh dewa Zeus dalam peperangan, lalu dewa Cronos pun di buang ke dalam neraka tua. Bangsa Romawi memuja kebesaran dewa Jupiter, Mars dan Neptuno. Di samping ini, kita juga mengenal agama-agama lain yang ada di dunia ini yang sampai sekerang tetap eksis ditenggarai memiliki pengikut yang jumlahnya tidak sedikit, seperti Hindu, Budha, Konghucu, Sinto dengan memajukan konsep ketuhanan mereka masing-masing. Agama Hindu Bali mempercayai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Sang Hyang Widi Wasya, hanya ada satu Tuhan dan tidak ada duanya. Pemeluk Agama Budha percaya bahwa sang Budha meyakini ada kekuatan ghaib yang maha dahsyat yang menguasai alam semesta ini. Keyakinan Konghucu mengajarkan bahwa Tuhan yang Esa adalah Thian yang memiliki empat sebutan yaitu; Tuhan yang maha besar (Thian), Pengatur Dunia (Tee atau Siang Tee), Yang Esa sebagai Penguasa (Thai Let), dan Tuhan sebagai penguasa spirit yen (Kwi Sten).


Uraian ringkas di atas baik dalam bahasa filsafat atau dengan konsep agama membuktikan bahwa secara fitrah manusia memiliki kecenderungan bathin yang kuat untuk beragama dan kecenderungan ini tidak akan musnah meskipun manusia telah mencapai peradaban modern serba tkenologi dan bahkan mendapat dukungan dari doktrin filsafat Post Positivisme. Inilah fitrah manusia dan demikianlah perjalanan manusia dalam meyakini, mencari, atau menjelaskan adanya kekuatan ghaib di balik alam semesta ini dengan konsep dan pendekatan masing-masing.


Di atas kenyataan inilah, Al Quran mewartakan kepada umat manusia, pertama, mengenai fitrah dasar manusia itu telah memberikan kesaksian adanya Tuhan, kedua, Ia jega mewartakan bahwa ada utusan dariNya yang member petunjuk mengenai hakekat wujud ghaib yang berada di balik alam semesta ini. Kata Edward Mortimer dengan pendekatan spekulatif historic, ada campur tangan Tuhan terhadap sejarah manusia dalam bentuk pengutusan para Nabi dan Rasul kepada manusia. Dan yang terjadi setelah itu adalah apakah manusia menerima atau membangkang Al Quran sebagai wahyu Tuhan yang pada zaman mula jadi telah disaksikan keberadaanNya oleh manusia menginformasikan tentang “Dia” (huwa) yang ghaib itu. Ini disebut dalam ayat pertama surat al Ikhlas “Qul Huwa Allah ahad”. Katakanlah (wahai Muhammad, seorang utusanNya yang dipilih untuk menyampaikan petunjuk kepada sesame manusia) bahwa “Dia” (huwa) adalah Allah yang esa. Ayat ini menurut pandangan Prof. Mukti Ali, lebih bermaksud memperoklamasikan nama Dzat Ghaib di balik alam ini, yakni Allah, dan bukan memproklamirkan faham monoteisme, sebab selain agama samawi (Islam) terdapat konsep monoteisme. Karena itu surat ini dinamai dengan Al-Ikhlas, dan tidak dinamai dengan surat Tawhid. Seolah surat ini mengimbau agar manusia ikhlas menerima berita dari Al Quran mengenai siapa sesungguhnya Dia, Dzat Ghaib yang berada di balik alam semesta ini.


Penulis akan sedikit meninggung istilah Nabi dan Rasul. Kata “Nabi” berasal dari kata “naba’” (tanda ‘ di akhir kata sebagai pengganti huruf “hamzah”). Naba’ artinya berita, sedangkan nabu’ berarti tempat yang tinggi. Dua makna dasar ini membeikan pengertian bahwa Nabi adalah seorang yang menerima berita dari tempat yang tinggi, dan memiliki hujjah yang tinggi sehingga mampu mengatasi hujjah-hujjah lain yang dihadapkan kepadanya. Nabi berkonotasi pada hubungan seseorang dengan Tuhan secara langsung tanpa perantara manusia lainnya, atau melalui para malaikat-Nya. Sedangkan kata Rasul berarti orang yang diutus (mursal) membawa risalah atau misi yang diberikan Tuhan kepadanya untuk disampaikan kepada sesama manusia. Jadi konotasi makna Rasul adalah nisbah hubungan antara sesama manusia karena risalah yang dibawanya diarahkan dan ditujukan kepada sesama manusia.


3. Pembawa Tugas Syahadah : Nabi dan Rasul


Kita semua mafhum bahwa membaca syahadah dengan lafal “Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasul Allah” menjadi rukun pertama agama Islam. Ini artinya ada kemungkinan terjadinya syahadh (penyaksian) manusia kepada dzat Tuhan Allah di dunia ini sebagaimana telah terjadi penyaksian manusia kepada Dzat Tuhan di alam dzar. Sebab kata “syahidna” dalam ayat Al Quran diatas dengan kata “Ashadu” dalam lafal syahadah sebagai rukun Islam berasal dari akar kata yang sama, “Syuhud” yang punya arti “menyaksikan” atau “bersaksi”.


Di dalam logika al-Ghazali yang ditulis dalam kitab Ihya Ulumuddin juz 3 dinyatakan, iman (percaya) yang didasarkan atas penyaksian sendiri lebih mantap disbanding dengan iman yang hanya didasarkan atas berita-berita dari orang lain.


Lebih lanjut Al-Ghazali membagi jenis iman lengkap dengan penjelasannya menjadi tiga, pertama, imannya orang-orang awam yang hanya didasarkan atas berita-berita dari orang lain. Kedua imannya kaum mutakallimin yang melengkapi imannya dengan beragam dalil, dan ketiga imannya kaum ‘arifun billah’ yang didasarkan atas syahadah dengan penuh keyakinan. Melalui logika analogis ia memperlengkapi penjelasan tentang tingkat-tingkat keyakinan dengan mengajukan satu contoh konkrit tentang keyakinan bahwa “Zaid ada di dalam rumah”.


Pertama, kamu mendapat informasi dari pembantunya yang selama ini dikenal jujur dan tidak berbohong. Ia mengatakan kepadamu bahwa tuan Zaid ada di dalam rumah. Mendengar berita dari pembantu tersebut kamu meyakininya meskipun kamu tidak mendengar sendiri tuan Zaid. Inilah perumpamaan imanya orang-orang awam yang hanya didasarkan berita yang mereka peroleh dari bapak ibu mereka bahwa Allah itu wujud, punya sifat-sifat dan af’al dan mereka tidak meragukan pemberitaan dari ibu bapak mereka. Iman semacam ini bisa membawa mereka memperoleh kebahagiaan di akhirat, akan tetapi mereka tidak masuk golongan orang-orang yang muqarrabin (mungkin yang dimaksud Al Ghazali adalah orang-orang yang dekat kepada Tuhan) karena cahaya keyakinan tidak menembus ke dalam hati mereka. Dan kemungkinan jatuh ke dalam kesalahan sangat terbuka bagi mereka.


Tingkat kedua, kamu mendengar sendiri ucapan tuan Zaid akan tetapi posisimu berada di balik tembok rumahnya (kamu tidak menyaksikan tuan zaid dengan mata kepalamu). Dari mendengar ucapan Tuan Zaid inilah kamu berdalil bahwa tuan Zaid di dalam rumah. Dan iman dalam tingkatan ini lebih kuat dibanding iman yang hanya didasarkan atas pemberitaan orang lain.


Tingkat letiga, kamu masuk sendiri ke dalam rumah tuan Zaid dan kamu melihat dan menyaksikan tuan Zaid dengan mata kepalamu. Inilah hakekat ma’rifat dan musyahadah yang sangat meyakinkan setaraf dengan ma’rifatnya orang-orang muqorobin dan para shidiqin di mana mereka beriman atas dasar penyaksian (syahadah). Inilah tingkat kualitas iman yang lebih kuat disbanding kedua tingkat sebelumnya.


Hamka membuat ilustrasi iman orang-orang awam yang oleh al Ghazali dikatakan sebagai mudah jatuh kepada kesalahan. Dalam ilustrasinya, Hamkan menampilkan contoh orang awam dari desa yang oleh suatu dorongan tertentu pindah ke perkotaan. Orang ini sewaktu tinggal di desanya dikenal sebagai orang yang rajin menjalankan ubudiah agama. Dan kini setelah di kota, ia harus menghadapi sejumlah tantangan seperti kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak mudah, kerasnya persaingan hidup, benturan emosi, benturan kepentingan, keinginan, nafsu, kemewahan kita, akan menjadi hadangan yang boleh jadi membelokkan iman awam mengikuti kecenderungan hidup memburu kebutuhan dan kepentingan duniawiyah. Gejala awalnya bisa jadi ketika datang waktu shalat zhuhur ia tidak segera mengerjakan shalat sebagaimana masih tinggal di desa. Dari gejala sederhana ini berlanjut sampai dengan berani meninggalkan shalat karena tuntutan pekerjaan dan kebutuhan yang jika tidak ia kejar, kesempatan itu akan hilang dan sulit ditemukan kembali kesempatan semacam itu. Boleh jadi karena pergaulan ia mulai berani minum minuman keras atau mengkonsumsi obat-obat terlarang dengan alas an solidaritas kawan atau desakan kawan padahal selama tidak pernah ia lakukan di desa.


Tingkat kedua, adalah imannya kaum mutakallimin, atau ulama yang menggeluti ilmu kalam, yang menurutnya tingkat ini lebih dekat kepada tingkat iman orang-orang awam. Sebagai seorang tokoh dalam ilmu kalam aliran Asy’ariyah, tentu otokrikik terhadap disiplin yang digelutinya selama ini patut memperoleh perhatian sejenak. Dalam karyanya yang lain “al-Munqidz min al-Dhalal”, beliau juga menyampaikan kritik atas disiplin ini. Katanya, ilmu kalam memang bisa memenuhi tujuannya sendiri, akan tetapi ia tidak bisa memenuhi tujuan saya.


Adapun tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahlus-sunnah dari tercampur dengan faham bid’ah yang menyesatkan. Sebagai salah seorang pengikut aliran Asy’ariyah bahkan beliau dipandang sebagai tokoh pembela aliran ini yang paling berpengaruh, beliau mengakui ada sebagian kelompok yang tenggelam dan jatuh ke dalam pusaran perselisihan, mengabaikan argumentasi pihak lain. Dan keadaan ini oleh belaiau dianggap sebagai tidak member manfaat bagi orang yang tidak mau menerima selain bukti yang memberi kepastian (dharuri). Dan bukti semacam ini tidak diperoleh melalui dalil-dalil aqli maupun nakli dalam masalah iman dank arena itulah beliau masuk ke dalam kamar tasawuf guna memperoleh iman yang didasarkan atas penyaksian dan, menurutnya, iman semacam ini merupakan tingkat iman yang paling kuat disbanding dua yang pertama. Menurut Muhammad Iqbal, salah seorang pemikir modern, disiplin ilmu kalam sebagaimana diperlihatkan oleh Mu’tazillah hanyalah bermain-main dalam logika padahal kehidupan beragama tidak hanya terbatas pada bermain-main rasio untuk kepentingan pemahaman dan kognisi melainkan menuntut adanya totalitas manusia dalam beribadah.


Kita kembali kepada pembahasan mengenai penyaksian. Penyaksian (syahadah) adalah gambaran situasi di mana terjadi hubungan langsung antara manusia sebagai subyek yang menyaksikan dengan obyek yang disaksikan. Melalui penyaksian ini terjadilah pengalaman langsung yang membuat keyakinan orang tersebut mencapai tingkat haqqul yaqien karena didasarkan atas penyaksian sendiri, dan tidak hanya didasarkan atas ucapan-ucapan atau informasi orang lain. Inilah tingkat iman orang-orang muqorobin dan shiddiqien, dan dalam kelompok ini, tentu para nabi dan rasul menjadi penghuni pertama

Sebab para nabi orang yang secara langsung menerima wahyu dari Tuhan dan diantara mereka diutus menjadi Rasul untuk menyampaikan risalahNya kepada sesame manusia.


Demikian Al Ghazali membicarakan kekhasan ilmu yang ada pada Nabi, yakni ilmu yang berada di luar jangkauan panca indera akal. Beliau menyebut dengan ilmu hakekat, ilmu yang masuk ke dalam rasa (dzauq) yang dengannya seseorang bisa merasakan lezatnya merasakan ma’rifat billah. Rasa itu semacam penyaksian (dalam teks al-Ghazali, aldzauq kal musyahadah), atau dalam rumusan Syuhrawardi al Maqtul dinyatakan secara eksplisit, “man lam yadzuq lam ya’rif” artinya “barang siapa yang tidak merasa maka ia tidak mengenal atau tidak tahu”. Ini berarti di dalam rasa itu ada pengenalan dan pengetahuan. Kalau kita minum the dan menyatakan “teh ini manis”, sebenarnya yang menyatakan ini adalah rasa. Kita tahu teh ini manis melalui rasa. Demikian pula jika kita makan garam lalu menyatakan “asin” maka rasalah sebenarnya yang menyatakannya setelah rasa ini mengadakan kontak langsung dengan garam, lalu mengerti serta mengenal rasa garam, lalu membuat putusan bahwa garam itu asin. Inilah yang dikehandaki Al Ghazali sebagai pembuktian yang dharuri, pembuktian secara langsung melalui rasa. Sebuah pembuktian yang mencapai tingkat haqqul yaqien, pembuktian yang haqiqi melebihi pembuktian yang didasarkan atas penglihatan atau pengamatan (observasi), atau pembuktian yang didasarkan atas konstruk awal, atau argument-argument rasio.


Contoh ilmuan fisika-kimia punya konstruk teori yang kita kenal dengan “atom”. Konstruk teori ini merupakan simpulan setelah melalui kajian yang mendalam dan melibatkan banyak ilmuwan dalam disiplin atom, lalu disepakati bahwa atom itu terdiri dari electron (unsure negative) dan neutron serta proton (inti atom). Electron-elektron itu diyakini bergerak mengelilingi inti dengan kecepatan tinggi. Fakta atau kenyataan mengenai bagaimana electron-elektron itu bergerak cepat memang tidak dapat dilihat mata ataupun dengan bantuan alat teknologi, namun ada bukti yang menguatkan konstruk ini, missal, ketika kita menekan tombol listrik, lampu-lampu menyala, setrika berfungsi dan lain-lain. Mata kita tidak melihat electron-elektron itu bergerak pada kabel listrik mengelilingi inti atom, namun rasio kita mengabsahkan kebenaran adanya atom. Pembuktian jenis ini kit kelompokkan sebagai bukti dalam tingkat ‘ainul yaqin’ dan ‘ilmul yaqin’ (mata kita melihat bukti dan rasio kita mendeskripsikan). Namun jika kita ingin memperoleh pembuktian lebih kuat lagi, pembuktian yang mencapai haqqul yaqin, coba pegang saja kabel listrik itu dan kita akan merasakan sengatan listrik itu.


Penulis ingin menyederhanakan contoh dengan “batu”. Ketika mata kita melihat sebongkah batu, akal kita mengatakan dan percaya bahwa batu itu keras dan lebih keras dari kepala kita. Dan buktinya, ketika kita ingin tiba-tiba melihat seorang yang kepalanya tertimpa batu, ternyata kepala orang tersebut menjadi benjol-benjol. Disini kita memproleh pembuktian tingkat ‘ainul yaqin dan ‘ilmul yaqin, jika kita masih menginginkan pembuktian yang lebih kuat lagi dari dua pembuktian di atas, yakni pembuktian yang mencapai haqqul yaqin, pembuktian rasa, kita sendiri mencoba membenturkan kepala kita terhadap batu dan kita akan merasakan secara langsung betapa kerasnya batu itu.


Dari berita-berita yang disampaikan kepada orang lain kepada anda atau mungkin dari penglihatan anda sendiri lewat teve atau dari jarak jauh, anda melihat betapa indahnya dan bahagianya orang-orang yang dekat dengan Raja, hadir di depan Raja, dan berkenalan dengan sang Raja, sedang anda sendiri tidak memiliki pengalaman ini sehingga anda tidak bisa merasakan betapa indah dan bahagianya dekat dengan Raja. Dari penglihatan mata dan dari deskripsi rasio anda, anda percaya bahwa mereka yang bisa mendekat dan hadir di hadapan sang Raja merasa bahagia, sebab tidak semua orang bisa memperoleh kesempatan semacam itu, dekat, hadir, berkenalan dan berhadapan dengan orang besar, yakni Sang Raja. Dan secara psikologis, seseorang akan bangga jika ia bisa berkenalan dengan orang-orang besar yang baik budi, ramah tamah dan memiliki kekuasaan yang besar. Bahkan di dalam keseharian kita, tidak jarang kita sendiri atau kenalan-kenalan kita membanggakan diri karena pernah berkenalan dengan orang-orang besar yang baik budi dan memiliki kekuasaan yang luas, apakah orang-orang besar itu politikus, ekonom, ilmuan dst, meskipun sangat mungkin berbohong.


Anda akan merasa bangga dan bahagia yang meliputi seluruh psikis anda dan akan mengingat-ingat terus perisiwa berkenalan ini (dalam bahasa Arab, mengingat-ingat ini disebut dengan Dzikir. Dalam wacan tasawuf, orang yang mengenal Dzat Allah karena diperkenalkan oleh orang-orang yang ahlinya dalam hal ini, lalu ia diminta agar di dalam rasa hatinya selalu mengingat-ingatNya dinamakan al Dzikr).


Di dalam pengenalan atau penyaksian jenis ini yang terjadi adalah adanya hubungan langsung anda dengan yang disaksikan dan situasi ini memunculkan rasa bahagia melebihi pengalam-pengalaman lainnya yang pernah anda miliki. Kini, anda tidak hanya sekedar melihat orang lain dekat dengan sang penguasa, melainkan anda sendiri memiliki pengalaman langsung dan karena itu anda kini merasakan sendiri betapa indah dan bahagianya dekat, hadir di hadapan penguasa dan berkenalan dengannya. Alangkah indahnya jika sang Raja itu adalah Rajanya raja, atau Maha Raja, dan Dialah Allah yang menyebut diriNya adalah “Malikal Mulki”.


Inilah pembuktian tingkat rasa. Pembuktian diri secara langsung, di mana rasa yang terdapat di dalam hati anda akan merasakan langsung kehadiran Dzat Tuhan, dan melalui kehadiran ini anda akan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Allah di sini bukan Allah sebagai nama yang dideskripsikan oleh dalil akli atau nakli, akan tetapi Allah sebagai Dzat yang keberadaan DiriNya yang Ghaib itu sebenarnya bisa dikenal oleh rasa hatinya (sir atau dzauq, dalam konsep tasawuf).


Karena inilah muncul konsep dzikir khafi atau dzikir sirri; khaffi berarti tersembunyi sehingga orang lainpun tidak mengetahui bahwa dia sebenarnya sedang berdzikir karena dzikir itu bertempat di dalam rasa hati (sirr) sehingga orang lain yang duduk dekat dengannyapun tidak mendengar dan tidak mengetahui bahwa dia sebenarnya sedang berdzikir dan dzikir yang mencapai tingkat rasa ini tidak mengganggu profesi atau pekerjaan. Misalnya, anda punya dzikir jenis ini karena melalui seorang Guru yang ahlinya, anda bisa mengamalkan dzikir ini sekaligus anda sambil anda menyelesaikan pekeraan anda sebagai guru yang tengah mengajar, atau sebagai mahasiswa yang sedang mengerjakan ujian, atau sebagai staf yang sedang kerja lembur menyelesaikan laporan di depan computer dan jenis-jenis pekerjaan lain selama diperbolehkan oleh syari’at Islam. Ilmu jenis ini diperkenalkan oleh Ilmu (tasawuf) Syathariyah.


Demikianlah rasa yang memiliki pengetahuan karena di dalam dirinya bisa merasa, merasa berarti mengetahui dan mengenal. Dan rasa bahagia yang paling tinggi nilainya bagi manusia adalah ma’rifat billah (tegasnya ma’rifat bi Dzatillah) demikian Al Ghazali dalam Kimia al-Sa’adah.


Syahadah atau menyaksikan Dzat Allah yang pada alam mula jadi dahulu (alam dzarr) pernah terjadi pada diri hakiki manusia, kini, di dunia empiric ini, melalui Nabi dan RasulNya amat mungkin untuk direalisasikan. Masalah yang mungkin mengkin demikian. Nabi terakhir yakni Nabi Muhammad saw sekaligus sabagai Rasul-Nya, keberadaannya di dunia ini dibatasi oleh usia. Beliau, disamping membawa ilmu syari’at, juga membawa ilmu hakekat yang isinya memperkenalkan hakekat manusia dan hakekat Allah, telah wafat mendahului kita ummat Islam yang hidup di abad 21 ini. Lalu apakah ummat sepeninggal beliau dibiarkan mencari-cari sendiri atau membuat rekayasa sendiri dalam masalah ilmu hakekat ini?. Ataukah beliau memberikan tugas ilmu hakekat ini kepada penerus yang ditunjuk oleh beliau guna membimbing umat sepeninggalnya secara berkesinambungan sampai hari kiamat?


Sebagaimana diriwayatkan, bahwa sebelum wafat, Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan khutbah di Ghadir Khum. Mukadimah dari isi khutbah ini banyak ditulis oleh para mufassir termasuk Muhammad Abduh. Dalam muqadimah khutbah ini Nabi SAW bersabda, “alastu bi awla minal mukminiina min anfusihim? Qalu, balaa” artinya, “bukankah aku (Nabi Muhammad SAW) lebih utama daripada para mukminin terhadap diri mereka sendiri?”; dan mereka menjawab, “benar”. Sabda ini diulang sampai 3 kali. Bahwa Nabi lebih utama disbanding dari kaum mukminin atas diri mereka sendiri member pengertian bahwa apa yang diputuskan atau yang dipilih oleh Nabi harus lebih diutamakan dibandingkan dari pilihan atau putusan kaum mukminin meskipun mereka bersepakat bersama memutuskan sesuatu. Dan para sahabat yang hadir mendengarkan khutbah itu merespon dengan positif. Bahwa para sahabat yang hadir pada saat itu mengakui bahwa apa-apa yang dipilih dan diputuskan Nabi lebih utama untuk dipatuhi daripada mereka sendiri, dan mereka telah menyatakan jawabannya akan mengutamakan pilihan dan putusan Nabi mereka dan sebagai mafhum mukhalfahnya, mereka akan mengabaikan pilihan atau putusan mereka sendiri meskipun mereka bersepakat bersama lewat musywarah.


Setelah mendengar respon yang demikian positif, Nabi Muhammad SAW meneruskan, “Man kuntu maulahu fa haadza ‘Alii maulaahu; allaahumma walii man waulahuu wa ‘adi man ‘adahu, allaahumma unshur man nasharahu wahdzul man khadzalahu” hatta qaala ‘Umar ibnu Khattab, “bakh, bakh, anta yaa iba ‘Abi Thalib, asbahta maulaya wamaulaa kulli mukminiina wal mukminaatin”, Artinya, “Barang siapa yang telah menjadikan aku sebagai maula-nya, maka sekarang ini ‘Ali yang akan menjadi maulanya; Allaahumma yaa Allah, kasihanilah orang yang mengasihani Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolong ‘Ali dan hinakanlah orang yang menghinanya”. Setelah itu Ummar bin Khatab segera menyambutnya, “selamat wahai engkau putera Abi Thalib, engkau menjadi maulaku dan maula setiap orang mukmin dan mukminat.


Mawla memiliki makna pembimbing, penunjuk, teman yang penuh kasih sayang, dan Nabi menggunakan kata “mawla” ini untuk menyebut dirinya maupun untuk ‘Ali dalam kaitannya dengan umat yang akan ditinggalkan. ‘ali ditunjuk sebagai penerus rasul, demikian al-Alusi dalam tafsirnya, tidak harus berkonotasi untuk urusan politik, melainkan, menurut pandangan kaum sufi, dia ditunjuk untuk menjadi penuntun di bidang ilmu bathin, yakni ilmu hakekat, ilmu yang mempertemukan hakekat manusia dengan hakekat Tuhan Allah. Demikianlah ‘Ali menerima kenyataan dimana urusan politik dipegang oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman sebelum kemudian jatuh ke tangannya yang disusul pemberontakan Mu’awiyah. Akan tetapi dalam masalah ilmu hakekat maka itu menjadi tugasnya meneruskan tugas yang dilaksanakan oleh Nabi. Dan tugas ini pula kemudian diserahkan kepada penerusnya sebelum beliau wafat dan demikianlah penerusan tugas ini terjadi secara berkesinambungan (‘Ali kepada Hasan, kemudian kepada Husein kemudian kepada ‘Ali Zainal ‘Abidin dan seterusnya) sampai hari kiamat.


Dalam pengalaman empirik, kita juga lazim melihat terjadinya penerusan tugas kepada ahlinya. Misalnya, jika seorang guru sejarah meninggal, temntu pihak yang berwenang yang mengurusi pendidikan akan menunjuk orang lain yang ahli dalam sejarah untuk meneruskan tugas mengajar sejarah, dan tidak dibiarkan kosong tanpa guru dengan alasan sudah ada buku-buku tentang sejarah. Atau jika guru pengajar matematika meninggal, pihak yayasan pasti segera mennjuk orang yang ahli matematika untuk bertugas menggantikannya. Demikian pula jika seorang kepala desa tertentu meningal dunia, maka ia akan segera digantikan oleh orang lain dan tidak dibiarkan kosong tanpa kepala desa meskipun desa itu sudah memiliki aturan-aturan kedesaan. Logika kita mengatakan, tugas tidak ikut mati ketika pribadi yang mengemban tugas wafat. Jika dalam masalah-masalah ilmu (sejarah, matematika dll) atau dalam masalah urusan sosial politik selalu ada penerusan tugas dari pengemban tugas terdahulu kepada penerusnya, lebih-lebih dalam hal ilmu hakekat yang menjadi dasar membangun sebuah kepribadian yang normatif menurut arahan dan bimbingan maula, penerusan tugas merupakan bagian dari tuntutan ilmu hakekat itu sendiri.


Pelajaran lain tentang kehidupan yang dapat kita ambil dari Kitab Suci agama Islam, dan juga dalam agama-agama lain mapun dari beberapa faham falsafah, bahwa kehidupan manusia itu telah berlangsung semenjak sebelum alam empirik ini, dalam alam empirik ini, dan nanti setelah alam empirik ini. Mungkin kita bisa mengkonsepsikan dengan alam “pra empirik, masa empirik dan psot empirik”, atau dalam ungkapan lain yang lebih terkenal, dari alam dzar, alam dunia dan alam akherat. Sebuah garis kehidupan yang tidak terputus.


Manusia sebelum terlahir ke dunia empirik telah mengenal Tuhannya (syahadah), demikian informasi dari Al Quran. Dan kini kita mengantarkan manusia agar dapat mengenal kembali (Syahadah kepada Tuhannya) di saat hidup di alam empirik ini, Tuhan tidaklah membiarkan manusia dalam kebingungan mencari-cari Tuhannya sebagai dorongan fitrah manusia tanpa bimbingan dariNya, melainkan Dia mengutus salah satu dari hamba-hambaNya untuk tujuan mengingatkan manusia agar mengenal ulang Tuhannya sebagaimana dahulu di saat alam dzar mereka telah mengenal-Nya. Dan setelah menjalani kehidupan di alam empirik ini manusia yang bisa mengenal kembali Tuhannya melalui para RasulNya bisa bertemu lagi denganNya. Situasi bisa bertemu denganNya ini digambarkan sebagai puncak kebahagiaan manusia di kehidupan akherat nanti.



DR. Ahmad Khozin Afandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar