"Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengikuti seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”

(H.R
Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi)

Kamis, 18 Maret 2010

TENTANG SYAHADAT DARI ALAM IDE KE REALITAS EMPIRIK

TENTANG SYAHADAT DARI ALAM IDE KE REALITAS EMPIRIK
Oleh : DR. Khozin Affandi

172. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"

Materi pokok dari ayat ini adalah mengenai kesaksian manusia akan adanya wujud Tuhan (syahadah). Akan tetapi kesaksian ini tidak terjadi di alam empirik melainkan di alam lain sebelum manusia menginjak alam empirik yaitu alam sebelum manusia dilahirkan, before born, di alam ini manusia telah mengenal ide, atau innate idea. Karena penyaksian ini terjadi di alam sebelum alam empirik, maka tidak mustahil jika manusia lupa atau tidak menyadari kejadian (penyaksian) tersbut.

Oleh sebab itu, ayat ini mengingatkan ayat keturunan Adam mengenai syahadah tersebut supaya nanti pada hari kiamat mereka tidak mencari alasan untuk mengelakkan diri. Lewat ayat ini manusia diberitahu supaya ia menjadi diri yang memiliki pengetahuan tentang syahadah. Peristiwa yang terjadi di alam praempirik ini bisa dikiaskan dengan alambayi yang baru lahir untuk memulai menjalani kehidupan di alam empirik; meskipun bayi ini sudah hidup di alam empirik, namun kesadaran mereka belum berkembang sehingga bayi itu tidak dapat mengingat apa-apa, bahkan tentang nama dirinya. Baru nanti setelah besar dia diberitahu oleh orang tuanya bahwa ia diberi nama fulan. Anehnya si anak ini percaya begitu saja bahwa ia bernama fulan.

Kita hanya mengajukan logika yang sederhana. Jika di awal alame mpirik saja seseorag tidak menyadari banyak hal yang terjadi pada dirinya ketika masih bayi, apalagi ketika ia masih di alam praempirik. Logika sederhana lainnya ialah; jika berita yang disampaikan oleh orang tentang masa bayinya bisa dipercayainya, apalagi jika verita itu disampaikanoleh Tuhan sang Penguasa Kehidupan Manusia.

Para filosof Yunani kuno, telah membahas pengetahuan manusia, apakah terjadi before born, innate (bawaan), ataukah terjadi setelah di alam empirik. Penulis menurunkan kajian filosofi tentang alamide di bawah ini tidak dimaksudkan untuk tujuan mencocokkan ayat Al Quran dengan tesa-tesa filsafat, apalagi mempersamakan tesa-tesa filsafat sejajar dengan ayat Al Quran, melainkan lebih dimaksudkan untuk membantu memperoleh pemahaman yang bersifat konstekstual. Dalam hal ini, filsafat ditempatkan sebagai sarana atau alat bantu guna mencapai sesuatu dan sesuatu yang hendak dicapai itu adalah pemahaman. Boleh jadi dengan alat bantu ini bisa menghasilkan pemahaman yang baru atau mungkin lebih mantap. Sebagai alat bantu ia bersifat hiipotetik dan ekstrinsik. Ibarat ibu-ibu yang sedang memasak di dapur yang pada saat tertentu membutuhkan pisau, sebagai alat bantu guna mempermudah pekerjaannya, tapi di saat yang lain ia tidak membutuhkan pisau karena obyek yang sedang ditangani memang tidak membutuhkan alat bantu pisau itu.

1. Tentang alam ide.
Adalah para filsof Yunani yang membuka lembaran wacana filsafat dengan mendiskusikan berbagai tema dan isu, dan salah satu tema yang tetap menjadi topik pembicaraan adalah tentang alam ide.
Plato mengkonsepsikan ide sebagai realitas yang sesungguhnya, realitas yang hakiki, sebaliknya, alam yang nampak nyata secara inderawi ini tak lain melainkan dunia bayangan dari alam ide atau alam yang hakiki. Sebagai alam yang sesungguhnya, ide itu tunggal, satu, tetap, tidak berubah dan abadi. Sebaliknya, dunia yang nampak inderawi ini bersifat berubah-uabh, plural, partikular-individual, serba banyak dan tidak tetap.
Mengikuti ajaran gurunya (Socrates), Plato memberi contoh, “sekuntum bunga yang indah”. Sekuntum bunga adalah dunia partikular-individual, sesuatu yang nampak inderawi. Indah adalah dunia ide. Jika ide “indah” berpartisipasi terhadap sekuntum bunga, maka kita mengatakan “sekuntum bunga yang indah”. Dan jika kemudian ide “indah” tidak lagi berpartisipasi kepada bunga tersebut, oleh karena bunga itu telah menjadi layu dan rusak, maka terjadilah perubahan. Akan tetapi, apa yang sebenarnya berubah bukanlah ide “indah” melainkan sekuntum bunga itulah yang berubah. Ide “indah” tidak pernah berubah sebagaimana ide “tidak indah” juga tidak berubah. Ide-ide akan tetap demikian abadi dan tidak berubah. Yang berubah adalah sekuntum bunganya, sesuatu yang particular, sesuatu yang nampak di mata kita.
Terhadap pertanyaan mengenai di mana ide itu berada, Plato menjawab bahwa ide itu berada di alam Tuhan (Divine Realm), dan di alam itu manusia telah mengenal ide-ide dan setelah lahir ke dunia, manusia tinggal mengingat apa yang telah dikenalnya di alam ide tersebut. Manusia telah membawa ide bawaan (innate idea) sebelum lahir ke dunia ini.
Menurut Plato, ide itu ditangkap oleh akal-rasio dan bukan oleh indera, sebaliknya, dunia yang nampak di hadapan kita ini ditangkap oleh indera. Dan pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio lebih tinggi nilainya dari yang dihasilkan oleh indera, karena obyek pengetahuan indera adalah obyek yang slalu berubah dan tidak tetap. Pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio ia sebut dengan episteme atau genuine knowledge sedangkan yang dihasilkan oleh indera ia sebut dengan opinion. Karena itulah, Plato disebut sebagai pelopor aliran Rasionalisme-Idealisme.
Dalam doktrinnya tentang ide, Plato sendiri memberikan padanan makna ide dengan forms, concept, pattern (pola) dan semakna dengan “universal”. Wujud meja atau temat tidur sebagimana kita saksikan di alam empirik ini, tak lain melainkan imitasi dari pola atau bentuk yang telah ada di alam ide.

Tradisi platonis ini berkembang di kalangan kaum mutakalimin dan filsof muslim serta para skolastik Kristen. Dengan bantuan akal rasio, mereka melakukan kajian terhadap ide-ide atau konsep-konsep keagamaan yang acuannya dari kitab suci. Agama dijelaskan dengan epistemologi Idealisme dan Rasionalisme dan hasilnya sebagimana kita ketahui adalah tesa-tesa keagamaan yang dikema dengan logika filsafat. Memang terjadi pro dan kontra terhadap pendekatan filsafat ini, akan tetapi ini tidak melenyapkan warisan mereka yang telah tersimpan dalam almari peradaban atau menghilangkan semangat generasi berikut dari kajian filsafat. Inilah karir abad skolastik di mana filsafat bertemu dengan doktrin agama.

Di abad modern, melalui tangan Descrates, doktrn platonis dikembangkan dengan mengajukan kriteria untuk menilai ide; kriteria itu adalah clear & distinct, jelas dan terjarak (terpisah). Satu ide dinyatakan benar jika memenuhi kriteria ini, artinya ide itu jelas bisa diangkap, dimengerti dan dijelaskan oleh rasio dan terpisah di mana satu ide berbeda dari lainnya dan terpisah dari subjek. Ide tentang panas, menurut Descrates, secara bisa jelas ditangkap oleh rasio dengan dukungan empirik, dan ide tentang panas itu tidak muncul dari diri subjek melainkan karena sesuatu yang datang dari luar diri, baha di luar diri subjek memang ada api yang meyebabkan muncul ide “panas”. Singkatnya, ide yang masuk ke dalam diri subyek datang dari dunia obyek luar diri.

Argumen inilah yang kemudian digunakan oleh Descrates untuk menjelaskan ide “adanya Tuhan”. Ide ini tidak muncul dari dalam diri subyek melainkan bersumber dari wujud yang infinite (Tuhan) di luar diri subyek. Karena Tuhan adalah Dzat yang infinite, maka ide tentang adanya Dzat yang infinite tidak bisa datang dari hal-hal yang finite (wujud selain Tuhan). Ide tentang adanya Dzat yang infinite haruslah berasal dari Dzat yang infinite. Dengan demikian jelas bahwa Tuhan itu ada, demikian Descrates dalam Discourse on the Method. Descrates mengajukan argumen ini hanya didasarkan pada penalaran rasio tanpa acuan dari Kitab Suci Agama yang dipeluknya. Inilah yang disebut dengan argumen causal proof, (pembuktian melalui sebab munculnya ide) dan bukan argumen ontologi yang lazim dinisbahkan kepada St. Anselmus.

Argumen ontologi ini berlatar belakang dari upaya Anselmus memenuhi permintaan kaum biarawan yang meminta kepadanya membuat argumen untuk membuktikan adanya Tuhan yang tidak dari Kitab Suci melainkan dari permenungan akal pikiran manusia. Isi pokok dari argumen ini demikan, bahwa di dalam akal pikiran kita terdapat ide tantang adanya Dzat yang Maha Besar yang tidak ada lagi yang lebih besar dari zat itu.

Argumen ontologi ini juga dikritik Immanuel Kant dalam karyanya yang terkenal, “The critique of Pure Reason”. Konsep Tuhan ada atau disana ada Tuhan bermakna sama. Kritik model Kantian ini dinukil oleh Iqbal dalam karyanya yang terkenal “The Reconstruction of Modern Thought in Islam”. Ide bahwa di dalam saku baju itu ada uang tiga ratus dolar hanyalah ide yang ada dalam akal pikiran, tidak dapat membuktikan bahwa uang itu benar-benar ada di dalam saku baju itu. Antara ide yang ada dalam pikiran (subyektif) dengan realitas obyektif ada jurang yang tidak bisa dijembatani oleh pemikiran transedetal. Dari tiga pemikir ini, Kant secara eksplisit menganjurkan agar pemikiran filsafat dibalik arahnya, yakni tidak dari subyek ke obyek, melainkan dari obyek ke subyek. Artinya, supaya pemikiran itu obyektif, maka biarlah obyek itu menyatakan dengan sendirinya dan kita hanya berpera mengungkap apa adanya sesuai dengan obyek yang hadir pada kita. Boleh jadi pemikiran-pemikiran yang bersifat subyektif membawa kepada penyimpangan dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada secara nyata.

Mengikuti tesa Kant inilah, Iqbal mencoba mengajukan pemecahan bagaimana agar konsep tentang Tuhan mencapai kriteria yang obyektif, maka biarlah Tuhan sendiri mengungkapkan diri-Nya sendiri melalui firman-Nya, dan bagi kita tidak ada cara lain selain menerima Firman itu. Iqbal menyatakan, biarlah Ego yang infinite menyatakan dirinya sendiri kepada ego yang finite melalui firman-Nya. Iqbal juga menggunakan istilah I am –ness Absolute.

Seperti kita lihat di atas dan uraian-uraian lain di dalam The Critique of Pure Reason, Kant berpandangan bahwa bukan akal murni yang bisa membantu membuktikan adanya Tuhan, melainkan akal praktis. Akal praktis inilah yang disebut the will of human reason atau sering diringkas the will, kehendak, dan ia menunjuk kepada moral. Secara moral, manusia berkehendak untuk memproleh kebahagiaan, dan kebahagiaan yang dikenhendaki oleh setiap manusia hanya akan bisa dicapai secara sempurna pada kehidupan di dunia lain selain dunia sekarang ini. Dan dzat yang bisa memberikan kebahagiaan yang sempurna itu (summum bonum) hanyalah Tuhan. Inilah argumen moral Immanuel Kant dalam usaha membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Di sisi lain ia mengakui bahwa ide tentang adanya Tuhan memang dihasilkan oleh akal murni, akan tetapi akal murni itu sendiri tidak bisa membuktikan atau menolak apakah Tuhan ada ataukah tidak.

Tuhan, kebebasan dan keabadian jiwa, oleh Kant disebut dengan noumena, dan ketiga noumena tersebut diciptakan oleh akal murni, akan tetapi akal murni itu sendiri tidak mampu membuktikan untuk membenarkan numena itu ataukah tidak membenarkannya. Menurut Kant, yang membuktikan keberadaan adalah entitas tersebut, bukan akal murni melainkan akal praktis. Kant melawankan noumena dengan Phenomena, atau dunia yang tampak seperti dalam model Platonis.

Sedikit uraian di atas di samping menurunkan pandangan mengenai pengakuan terhadap keobyektivitasan ide, nampak bahwa ide tantang adanya Tuhan memperoleh perhatian secara kualitatif meskipun kajian pada kesempatan ini hanya mengambil beberapa contoh saja.

2. Tentang Penyaksian (Syahadah) terhadap wujud Tuhan

Meskipun plato secara implisit menyatakan bahwa ide itu ada di alam Tuhan, namun ia tidak memberi contoh konkrit seperti apa ide-ide di alam Tuhan itu sendiri. Ini artinya Plato meninggalkan ruang kosong bagi umat Islam, kekosongan ini dapat diisi dengan menunjuk Al Quran sebagai contoh konkrit, sebab Al Quran bukan ide-ide yang lahir dari Tuhan Allah sendiri yang setelah turun di dunia empirik untuk kepentingan sejarah dan peradaban manusia, ide-ide itu menjelma menjadi lambang-lambang bahasa yang bisa diungkapkan dan ditulis melalui salah seorang hamba yang dipilih oleh-Nya, yakni Nabi Muhammad SAW.


Kini penulis akan membahas materi pokok ayat di atas yaitu tentang penyaksian manusia kepada Tuhan. Para mufassir mencoba memperkirakan alam di mana terjadi penyaksian ini. Al-Suyuthi, Ibn Katsir dan beberapa mufassir lain menjelaskan bahwa kesaksian manusia ini terjadi di alam fitrah sebelum proses penciptaan jasad manusia dan sebelum roh dimasukkan ke dalam jasad, Allah meminta kesaksian kepadanya. Di alam ini, demikian Ibnu Katsier, manusia telah bersaksi adanya Tuhan Yang Maha Esa. Manusia diciptakan Allah dalam fitrah ketauhidan, demikian Al Qasimi menjelaskan, di mana manusia di alam itu telah memberi kesaksian tanpa ragu-ragu akan adanya Tuhan. AL-Qurtubi dan beberapa Ulama, demikian kata al-Thabathai, mengajukan konsep “yaum al dzar” (suatu saat ini yang bersifat spiritual) untuk menunjuk saat di mana inti fitrah manusia mengadakan kesaksian ini.

Menurut bahasa, kata “Al-Dzar” bisa diartikan inti dari substansi, dan bisa berarti seberkas sinar, misalnya ketika kita membuka jendela, maka masuklah seberkas sinar melalui jendela itu, akan tetapi harus diakui atau terpaksa harus diakui bahwa amat mungkin ada pihak-pihak tertentu yang sering merasa tidak puas terhadap penjelasan agama, lebih-lebih jika menyangkut istilah yang misteri semisal konsep “al-dzar” di atas dengan dalih penjelasan agama sering tidak bersifat hipotetik, melainkan dogmatik, doktrinal, selalu terkait dengan keyakinan, tidak netral dan tingkat kevalidannya tidak pernah atau tidak mungkin dibuktikan karena derajat metafisiknya yang berifat luar empirik.