"Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengikuti seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”

(H.R
Imam Bukhari, Al Hakim dan Adz Dzahabi)

Jumat, 12 Februari 2010

Imam Ali Ahlud dzikr

oleh : Dr. A. Chozin Affandi


Dalam khazanah Islam, kata Imam digunakan untuk mensifati seorang yang ahli ilmu agama seperti Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Imam al-Ghazali, Imam al haramain, Imam as-Syafi’i, dan –lain-lain. Imam dalampengertian inilah yang kita pakai untuk memahami Imam Ali karena beliau disepakati bersama oleh kalangan Sunni maupun Syi’i sebagai acuan utama dalam tasawuf.

Ketika turun ayat tentang ahlu adz-dhikr, yakni “fas aluu ahlad-dhikri in kuntum laa ta’lamuun” Imam ‘Ali bin Abi Thalib berkata : “Kami adalah ahlud-dhikri. Penafsiran Imam Ali tentang ahlud-dhikrr ini terdapat dalam kitab tafsir at-Thabari.

Dalam Q.S Al-Anbiya : 8,

At-Thabari (Ibn Jarir at-Thabari, wafat 310 H) menyusun tafsir dengan judul “Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Quraan”. Pada mujallid. 9, juzz 17, hal 6 menurunkan satu riwayat yang isinya bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, ‘kami adalah ahlud-dhikr”. Teks asli dalam tafsir at-Thabari sbb.

“Dari Ahmad bin Muhammad at-Thusi, dari Abdurrahman bin Shalih dari Musa bin Usman dari Jabir al-Ju’fi, berkata : ketika turun ayat fas aluu ahlad-dhikri in kuntum la ta’lamuun”, berkata Ali bin Abi Thalib, “kami adalah ahlud-dhikr”.

Dalam tata bahasa Arab, kata-kata “kami” (terjemahan dari kata “nahnu”) adalah mutakallimin ma’al ghair). Artinya kata ganti nama “kami” memuat makna lebih dari satu orang (satu subyek). Misal, A adalah Haitsam, seorang guru berkata: ”Kami setiap hari memenuhi kewajiban kami mendidik siswa demi masa depan mereka sebagai generasi bangsa”. Kata kami tersebut tidak hanya untuk diri guru A saja, melainkan sekaligus mewakili teman-teman seprofesi. Demikianlah kata ”kami” yang digunakan oleh Imam Ali, tidak sebatas untuk menunjuk dirinya sendiri melainkan mewakili untuk orang lain yang juga ”ahlud-dhikr”, yakni Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali Zainul Abidin, Imam Muhammad al-Baqir.


Dalam sejarah tasawuf diriwayatkan bahwa Hasan al-Basri, (lahir 21 H, wafat 110 H) mula-mula menjadi murid Imam Ali ”ahlud dhikr”, setelah wafat Imam Ali (41 H), menjadi murid Imam Hasan (Wafat 50H), kemudian kepada Imam Husain (Wafat 61 H), kemudian menjadi murid Imam Ali Zainul Abidin. Hasan Basri adalah Sufi dari priode awal tabi’ien. Dia memimpin sebuah halaqah (ribat) yang didalamnya teman-teman seangkatan dan juga orang-orang yang menimba ketasawufan. Data sejarah menyebutkan, Hasan al-Bashri dan kawan-kawannya serta para murid (murid dalam arti ”orang yang punya kehendak menempuh jalan hidup para sufi”).

Imam Muhammad Al-Baqir juga berkata seperti apa yang telah dikatakan Imam Ali,”Kami adalah ahlud-dhikr”. Kata-kata beliau ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan beberapa muridnya tentang ayat fas aluu ahlad-dhikri in kuntum la ta’lamuun, Imam Muhammad al-Baqir menjawab, ”kami adalah ahlud-dhikr”, demikian ditulis oleh Muhammad Jamaluddin Abdul Wahid al-Hanafi dalam tulisan singkatnya berjudul ”al Imam sayyid Muhammad Al Baqir. Putera beliau yakni Imam Ja’far as Shodiq, menurut data sejarah, dinyatakan sebagai Imam Tasawuf dan Imam kaum sufi dengan tidak membedakan apakah kaum sufi ini dari golongan sunni atau dari syi’i. Data sejarah ini dicatat oleh Abdul Qodir Mahmud dalam kitabnya, al falsafah as sufi’ah fil Islam pada hal. 157. Asal makna syi’ah adalah mengikuti jalan beragama.

”tasyayyu ’(menggabung, mengikut) dalam makna asal bahasa adalah mengikuti jalan beragama.

Setelah Rasulullah wafat, tercatat beberapa sahabat yang tetap setia bergabung, mengikuti dan menolong Imam Ali. Diantara mereka adalah Abu Darda, Abu Dhar al-Ghifari, Salman Al Farisi, Ammar bin Yasr, Miqda bin Aswad, Hudhaifah al-Yaman, Sahl bin Hanif, Abu Haitsam, Malin bin Syihab, Khalid bin Said, Ubadah bin Shamit, Abu Ayyub al-Anshari dan lain-lain, sebagian besar dari ahlus-suffah. Mereka adalah para fuqara’ yang tidak masuk dalam kekuasaan pemerintahan. Mereka memilih di bawah bimbingan Ali dalam menempuh jalan beragama karena mentaati washiyat Rasulullah dalam Ghadir Khum tentang Ali (man quntu maulahu, fahadha ’Ali maulahu: Allahuma waali man waalahu wa ’aadi man ’aadahu). Mustafa Kamil as Syaibi dalam kitabnya “as-Sillah baina at-tasawwuf wat tasyayyu” menyebut mereka adalah para syi’ah al awwalun; Abdul Qadir Mahmud dalam kitab al falsafah at tasawwuf fil Islam menyebutnya dengan ”syi’ah al mu’tadilun” (syi’ah jalantengah, syiah moderat. Istilah ini dilawankan dengan syi’ah ghullah, yakni syi’ah ekstrim). Syah Waliyullah ad Dihlawi dalam ”Mukhtashar itsna asyariah menyebutnya dengan syi’ah al mukhlisun”, Syiah yang murni, maksudnya, murni dalam menempuh jalan beragama. Dalam tulisan Kamil Mustafa, as-Syaibi kita baca teks sebagai berikut :

”mereka menjadikan Ali sebagai maula bukan karena tamak ingin memperoleh materi atau pangkat jabatan, tetapi sunguh-sungguh karena memenuhi wasiat Nabi saw ....


** Dikutip dari Khazanah Tasawuf karangan Dr. A. Chozin Affandi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar